Sepucuk Surat…….
Setetes air di pucuk daun yang selalu hadir pada pagi buta, yang selalu menemaniku di kala sinar mentari mulai menerobos masuk melalui jendela kamarku. Dan mulai kudapati seberkas cahaya disertai suara kicauan para burung yang mulai menyadarkanku dari mimpi indahku. Akupun mulai beranjak dari ranjang tempat tidurku berada. Seperti biasa, aku mulai melakukan aktivitas pagiku, dan setelah itu aku mulai keluar dari pintu rumahku untuk berjalan-jalan pagi. Mulai kudapati melalui indra pengelihatanku, samar-samar terlihat sesosok gadis yang kira-kira seumuran denganku. Ia menghampiriku dan menyapaku dengan ramah.
“Selamat pagi, Mbak.”
“Selamat pagi juga,” jawabku kepada sapaannya.
***
Dalam hitungan menit kami berdua sudah mulai akrab, seperti kami sudah pernah bertemu sebelumnya. Namanya Vanessa, dia adalah anak tetangga sebelah yang belum lama pindah di dekat rumah keluargaku. Dia berusia 5 bulan lebih muda dariku. Ia pindah ke desa ini karena suatu sebab yang tidak bisa ia ceritakan kepadaku. Ia mempunyai seorang kakak laki-laki bernama Rico, yang kira-kira berselisih tiga tahun denganku.
Saat itu kami asyik mengobrol, tanpa peduli kebisingan dan hiruk pikuk masyarakat desa yang padat, bahkan kami tak sadar jika sang mentari telah bersembunyi disertai bulan dan bintang yang hadir menyambut malam. Kami pun berpisah, pulang ke rumah kami masing-masing. Dan kami tak sabar melalui malam yang panjang ini dengan ditemani kesunyian, dengan suara jangkrik dan burung hantu yang tak lupa datang memecah keheningan malam.
***
Malam telah berlalu. Sang fajar mulai menampakkan dirinya dari ufuk timur. Mulai terdengar suara ayam jantan tetanggaku yang terus berkokok menyambut datangnya pagi. Aku mulai membuka mataku dan segera bangun dari ranjangku yang empuk. Sekitar pukul delapan pagi, aku segera keluar rumah untuk menghirup aroma pagi yang segar, wangi embun yang khas yang selalu kurindukan setiap hari.
Pagi itu aku berencana untuk pergi ke pasar. Suatu tempat di mana para pedagang biasa menyediakan kebutuhan sehari-hari untuk dijual. Tanpa sengaja aku bertemu Rico, kakak Vanessa yang diam-diam ku kagumi selama ini. Kami berniat untuk berjalan pulang bersama, dengan melewati sawah-sawah yang akan menjadi penyejuk mata kami sepanjang perjalanan.
Karena perjalanan yang cukup jauh, kami sepakat untuk beristirahat sejenak, menikmati semilir angin yang sejuk dan berteduh dari teriknya matahari di tengah hari. Selagi beristirahat, aku mulai memberanikan diri untuk bertanya kepada Rico, tentang alasan mengapa ia dan keluarganya pindah ke desa ini.
“Ehm, aku boleh tanya sesuatu gak ke kamu?” tanyaku kepadanya.
“Boleh,” jawabnya singkat.
“Kenapa kamu dan keluargamu pindah ke desa ini? Bukannya lebih enak tinggal di kota? Di sini kan mencari apa-apa masih susah,”
“Oh, kata dokter, Vanessa harus tinggal di daerah yang udaranya masih segar, seperti di desa ini. Mengingat penyakitnya yang...... Ups!”
“Hah??! Memangnya Vanessa sakit apa??” tanyaku penasaran.
“Hehe... Enggak kok, nggak apa-apa. Udah yuk, jalan lagi aja,” jawabnya yang seperti menutup-nutupi sesuatu.
***
Sepanjang malam, aku terus memikirkan perkataan Rico tadi siang. Tentang alasan Vanessa dan keluarganya harus pindah ke desa ini. Semakin dipikir, aku semakin penasaran, jadi daripada rasa penasaranku berkelanjutan, aku mulai berusaha melupakannya.
***
Setahun pun berlalu. Tak terasa, persahabatanku dan Vanessa berlanjut sampai sejauh ini. Aku sudah lulus dari SMA negeri di desa ini. Aku berencana untuk melanjutkan kuliah, tetapi di desa ini belum ada universitas. Akhirnya, dengan berat hati ku putuskan untuk kuliah ke luar kota, dengan menumpang di rumah Budhe yang memang sudah sukses membuka usaha jasa pengiriman barang di kota.
***
Tanpa terasa, lima tahun berlalu. Kuliahku telah selesai. Aku bekerja di tempat Budhe untuk sementara waktu. Aku mengumpulkan uang untuk pulang kampung pada lebaran kali ini, karena aku juga tidak ingin membebani Budhe yang sudah banyak aku repotkan selama ini. Hari pertama Lebaran tiba. Aku mulai mengemasi barang-barangku yang akan ku bawa pulang ke kampung. Tanpa sengaja, Budhe melihatku. Terjadilah percakapan di antara kami.
“Lho, Nduk, mau pulang kampung?” tanya Budhe dengan logat Jawanya yang khas.
“Iya, Budhe. Sudah lama ndak pulang,”
“Lha kamu bosen di sini po, Nduk?”
“Enggak kok, Budhe. Saya seneng di sini. Cuma kan saya kangen kampung,”
“Oh, ya wis. Kapan berangkat, Nduk?”
“Besok pagi, Budhe. Naik bis.”
“Oh, ya cepet tidur, besok ndak isa bangun,” kata Budhe seraya mematikan lampu. Budhe memang orang yang perhatian, apalagi karena ia menginginkan anak perempuan, tetapi kedua anaknya laki-laki. Jadi saat aku datang, Budhe terlihat senang.
***
Keesokan paginya, aku segera berpamitan dengan Budhe. Aku bersalaman dengan Budhe, dan Budhe memberikan sebuah amplop putih yang nampaknya berisi uang jajan untukku. Aku segera menolaknya.
“Ndak apa-apa, Nduk. Buat jaga-jaga. Nggak usah(=perlu) malu. Nih, diambil sangune(=bekal uangnya),”
“Oh, ya, makasih, ya Budhe.”
“Ati-ati ya, Nduk,”
***
Aku pun mulai meninggalkan rumah Budhe, dan segera menuju ke terminal kota. Setelah sampai di terminal, aku langsung mencari bus dengan tujuan kampung halamanku, desaku yang selama ini kurindukan. Aku menemukan bus yang aku cari dan segera masuk ke dalamnya. Tak berapa lama kemudian, setelah bus yang ku tumpangi sudah terisi penuh, aku pun segera berangkat. Sekitar kurang lebih tiga setengah jam setelah keberangkatanku, aku telah sampai di depan gapura sebagai jalan masuk menuju desaku yang asri. Aku segera turun dari bus dan memasuki gapura kampung tersebut.
***
Seperti dugaanku sebelumnya, desaku telah banyak berubah. Sawah-sawah hijau yang dulu membentang luas disertai kilauan warna padi yang keemasan, sekarang telah dihiasi oleh petak-petak rumah bata yang belum pernah ku lihat sejak enam tahun silam. Aku segera mempercepat ayun langkahku, seakan tak sabar melihat sosok gadis yang ceria, yang selalu menemaniku di saat aku paling membutuhkannya. Dia adalah sahabat kecilku, Vanessa.
Aku segera pulang dan memberi salam kepada ibu dan ayahku yang sudah pasti selama ini merindukanku. Setelah membereskan barang-barang bawaanku, aku segera mengunjungi rumah Vanessa untuk bertukar cerita dengannya. Aku sampai di depan pintu rumahnya dan segera mengetuk pintu rumahnya. Tak berapa lama, keluarlah Rico. Ia langsung mengenaliku.
“Siska, ya??”
“Iya. Vanessa ada?”
“Ehm, anu... Ehm.....” jawabnya agak bingung.
“Kenapa, Ric? Dia lagi nggak ada di rumah, ya?”
“Ehm.... Ehm...”
“Iya, aku tau, kok. Ya udah, nanti sore aku ke sini lagi aja.”
“Eh, tunggu, Sis!” pintanya saat aku beranjak keluar melalui pagar rumahnya.
“Ada apa?” sahutku.
“Ehm, ini dari Vanessa,” katanya dengan mata berkaca-kaca. Ia memberiku sepucuk surat beramplop putih dengan tulisan “Untuk Siska” tepat di tengahnya. Aku pun segera membukanya. Surat itu bertuliskan:
“ Bantul, 20 Juli 2009
Untuk Sahabat terbaikku, Siska
di tempat.
Salam sayang,
Apa kabar, Sis? Sudah lama kita tidak berjumpa. Kamu pasti baik-baik saja kan? Sebelumnya aku minta maaf, Sis, kalau aku punya banyak salah sama kamu. Terutama soal masalah ini, yang selama ini aku sembunyikan dari kamu. Mungkin waktu kamu baca ini aku udah nggak ada, Sis. Sejak kecil aku udah sakit asma parah, jadi waktu SD aku udah harus pindah ke sini. Maafin aku baru cerita sekarang, soalnya aku takut kalau aku cerita, kamu akan mengkhawatirkan aku, Sis. Aku harap kamu bisa maafin aku. Makasih, ya selama ini udah mau jadi sahabatku.
Dari sahabatmu,
Vanessa “
Tanpa kusadari, air mataku meleleh di kedua pipiku. Perasaan duka cita yang mendalam merasuk dalam diriku. Aku sempat tak percaya, tapi inilah realita. Tak kusangka, Vanessa akan meninggalkanku secepat ini. Rico segera menggandeng tanganku, dan segera membawaku ke tempat pemakaman umum tempat Vanessa terlelap dalam keabadian. Tak kuasa aku menahan tangisku saat ku lihat batu nisan putih dengan ukiran namanya di sana. Ia meninggal tepat tiga bulan sebelum aku pulang ke sini.
Senang mengenalmu, Vanessa. Semoga kamu berbahagia di alammu yang sekarang.
Sinopsis
Siska adalah seorang gadis desa yang amat ramah. Suatu ketika ia mendapat sahabat baru yang merupakan tetangganya yang baru pindah dari kota. Persahabatan mereka terus berlanjut sampai akhirnya Siska lulus dari SMA dan harus melanjutkan kuliah di kota. Setelah ia menyelesaikan kuliahnya, ia memutuskan untuk mencari sahabat kecilnya, Vanessa yang ternyata telah meninggalkannya untuk selamanya.
Biodata Pengarang
Nama Lengkap : Victoria Maharani Devi
Tempat, Tanggal Lahir : Yogyakarta, 3 desember 1997
Asal Sekolah : SMP Maria Immaculata Marsudirini Yogyakarta
Jalan Brigjend Katamso 4, Yogyakarta 55121
Alamat : Jalan Sugeng Jeroni 51A, Yogyakarta 55142